Tujuan diutusnya para nabi

Tuhan maha suci dari melakukan perbuatan yang sia-sia tanpa tujuan. Pengutusan para nabi adalah salah satu bentuk rahmat Allah yang memiliki tujuan-tujuan penting. Di antara tujuan-tujuan tersebut adalah:

1. Hidayah Tasyri’i[1] Umat Manusia

Masalah kenabian telah terpapar sejak awal penciptaan dan memang pada dasarnya kehidupan umat manusia di dunia ini terbangun di atas hidayah tasyri’i. Ayat-ayat Al-Quran menggambarkan bahwa seakan-akan sejak diturunkannya nabi Adam AS. ke dunia, diturunkan wahyu kepadanya agar mengikuti setiap petunjuk yang akan diturunkan nanti. Jika engkau menerima petunjuk itu dan mengamalkannya, engkau pasti akan mencapai kebahagiaanmu, dan jika kamu menentangnya, kamu bakal celaka:

Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-Baqarah [2] : 38-39)

Atas dasar itu, sejak awal nabi Adam AS. tinggal di muka bumi perkaranya sangatlah jelas, bahwa di hadapannya akan terdapat dua jalan dan Tuhan akan membimbingnya. Ayat berikutnya menjadikan semua keturunan nabi Adam AS. sebagai lawan bicaranya; Ia berfirman:

Hai anak-anak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidaklah ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS. Al-A’raaf [7] : 35-36)

2. Menyempurnakan Hujjah

Salah satu hasil dari hidayah tasyri’i, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, adalah penyempurnaan hujjah. Penyempurnaan hujjah adalah tujuan kedua diutusnya para nabi. Dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas:

(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisaa’ [4] : 165)

Di ayat lainnya, dengan menjadikan para Ahli Kitab sebagai lawan bicaranya, Allah SWT. berfirman:

Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari’at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: “Tidak ada datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan.” Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al-Maa’idah [5] : 19)

Yang jelas Ahli Kitab menganggap diri mereka sebagai pengikut seorang nabi, hanya saja mereka menanti kedatangan nabi selain nabi Muhammad SAW.

Bagaimanapun juga, ayat di atas menjelaskan bahwa para nabi diutus supaya jangan sampai para pengingkar bisa mencari-cari alasan seperti “karena seorang nabi tidak diutus kepada kami, dan karena ajaran nabi-nabi terdahulu telah terselewengkan, sesatlah kami” atau “karena sebelumnya telah dijanjikan tentang kedatangan seorang nabi namun ia tidak datang, oleh karenanya kami menjadi ragu dan berdua-hati.”

Allah SWT. berfirman:

Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Quran itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: “Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah?” (QS. Thaahaa [20] : 134)

Ayat tersebut menerangkan bahwa jika seandainya Allah SWT. menurunkan azab siksaan kepada umat manusia sebelum diturunkan seorang nabi untuk mengingatkan mereka, bisa jadi mereka berdalih bahwa mereka tidak tahu mana jalan yang benar dan Tuhan sendiri tidak menurunkan seorang pembimbing kepada mereka agar menunjukkan jalan yang benar serta mengeluarkan mereka dari lingkaran kelalaian. Jadi, salah satu tujuan pengutusan para nabi, adalah menutup kemungkinan bagi manusia untuk mencari-cari alasan.

3. Meluruskan Pelencengan

Ada beberapa ayat yang dapat kita petik suatu pesan darinya, namun mungkin saja itu tidak mutlak. Misalnya, Al-Qur’an mengisyarahkan penyelewengan-penyelewengan (perubahan dalam kitab suci) yang dilakukan oleh biarawan Ahli Kitab:

Mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya… (QS. An-Nisaa’ [4] : 46)

Bayangkan Tuhan mengutus seorang nabi dan ia mengajak umatnya menuju jalan kebenaran, namun dengan berjalannya masa dan dikarenakan berbagai macam sebab, ajaran nabi tersebut terselewengkan dan yang seharusnya menjadi petunjuk umat kini menjadi penyebab kesesatan mereka. Dalam keadaan seperti inilah hikmah Ilahi menuntut diutusnya seorang nabi baru untuk meluruskan apa-apa yang telah terselewengkan. Saat ini pun tidak ada Injil yang dapat ditemukan seutuhnya sebagaimana yang telah diturunkan kepada nabi Isa AS. Apa yang ada sekarang, adalah tulisan orang-orang yang dikenal sebagai murid-murid nabi Isa AS.; dan meskipun begitu, bukti bahwa Injil ini memang benar-benar tulisan mereka lemah sekali. Kandungan Injil dan Taurat yang ada saat ini justru membuktikan bahwa kitab-kitab tersebut bukan kitab yang asli sama seperti semulanya; membuktikan bahwa Injil dan Taurat yang sebenarnya telah sirna.[2] Dalam kitab-kitab itu juga banyak sekali masalah-masalah yang bertentangan dengan akal dan juga syariat agama-agama langit lainnya. Sebagai contoh, ada kesyirikan yang diajarkan dalam kitab-kitab tersebut, dan juga ada penyelewengan hukum-hukum syar’i yang telah disepakati oleh syariat-syariat yang lain. Atas dasar itu Tuhan selayaknya mengutus seorang nabi kepada mereka dan menurunkan kitab untuknya, meskipun pada akhirnya kitab tersebut diselewengkan juga. Ataupun meski tidak diturunkan kitab kepada nabi baru tersebut, paling tidak ia meluruskan penyelewengan-penyelewengan yang menyesatkan itu.

4. Menjelaskan Pesan-Pesan yang Tersembunyi

Sebagian ayat-ayat Al-Quran menjadi saksi bahwa banyak pemuka Ahi Kitab yang sengaja menyembunyikan pesan-pesan penting dalam ajaran mereka demi kepentingan duniawi. Hal ini melazimkan Tuhan mengutus seorang nabi untuk menjelaskan pesan-pesan yang mereka sembunyikan tersebut. Mengenai diutusnya Rasulullah SAW. Allah SWT. berfirman:

Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepadamu Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan. (QS. Al-Maa’idah [5] : 15)

Dari ayat diatas dapat difahami bahwa di antara para Ahli Kitab ada rahib-rahib yang mengerti sesuatu namun tidak menjelaskannya kepada siapapun. Ada sebagian ayat yang lain yang menunjukkan bahwa mereka sering menulis sesuatu dari diri mereka sendiri namun mereka mengaku tulisan tersebut dari Tuhan:

Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”. (QS. Al-Baqarah [2] : 79)

Kebanyakan rahib Ahli Kitab berbuat seperti ini. Al-Quran berkata bahwa Rasulullah SAW. diutus untuk menerangkan hakikat-hakikat yang telah mereka sembunyikan selama itu.

5. Menyelesaikan Ikhtilaf-Ikhtilaf Keagamaan

Berdasarkan yang termaktub dalam Al-Quran, sejak awal penciptaan manusia hingga bertahun-tahun lamanya (kira-kira satu abad lamanya) anak-anak Adam hidup bersatu; dan meski terjadi ikhtilaf di antara mereka, ikhtilaf itu bukan seputar agama Tauhid. Namun jauh selepas masa-masa itu, bermunculan aliran-aliran yang berbau kesesatan dan kesyirikan serta banyak sekali ikhtilaf keagamaan; kemudian Tuhan mengutus para nabi untuk menyelesaikan ikhtilaf-ikhtilaf tersebut:

Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS. Al-Baqarah [2] : 213)

Dengan membaca ayat suci di atas, setelah nabi Adam AS., Tuhan mengutus para nabi kepada hamba-hamba-Nya untuk menyelesaikan ikhtilaf di antara mereka. Berdasarkan ayat ini, dapat diasumsikan bahwa nabi Adam AS. tidak memiliki kitab langit dan beliau hanya berdakwah secara lisan kepada umatnya (anak-anaknya—pent.); dan juga tidak ada sebuah kitab langit yang tersusun rapi di tengah-tengah umat manusia pada waktu itu. Ketika ikhtilaf-ikhtilaf itu bermunculan, hikmah Ilahi menuntut adanya kitab suci yang dapat menghukumi dengan benar untuk mereka.

Dalam ayat di atas, disebutkan: “Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab”; menjadi bukti bahwa di antara mereka ada orang-orang yang secara sengaja menyelewengkan dan melakukan perubahan dalam kitab suci. Selain ikhtilaf-ikhtilaf yang sudah ada di tengah-tengah umat manusia masa itu, mereka dengan sengaja menciptakan ikhtilaf-ikhtilaf lainnya.

“karena dengki antara mereka sendiri” menunjukkan bahwa mereka menciptakan ikhtilaf-ikhtilaf karena kepentingan duniawi dan kezaliman diri mereka. Lalu Allah SWT. berfirman: “Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya.

Tuhan memberikan petunjuk ini melalui para nabi, para imam, dan orang-orang alim di antara hamba-hamba-Nya yang beragama benar: “Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.

6. Mengingatkan Kembali

Umat manusia meskipun dapat memahami berbagai perkara atau memiliki gambaran sekilas mengenai sebagian permasalahan, namun mereka tetap membutuhkan “seseorang” yang dapat memberikan peringatan kepada mereka sehingga pengetahuan mereka yang tak sempurna itu tersempurnakan; dan dengan bahasa Al-Quran, mengeluarkan mereka dari kelalaian dan kembali kepada kesadaran dan dzikir. Ini juga salah satu tujuan diutusnya para nabi. Al-Quran sering kali menyebut dirinya dan juga kitab-kitab langit lainnya dengan sebutan dzikr, dzikra, tadzkirah, mudzakkir, dsb; yang semua itu menjadi bukti apa yang dimaksud di sini. Dzikir adalah mengingat. Manusia terkadang lupa atau lalai akan hal yang pernah ia ketahui; ibaratnya ia menjadi setengah sadar. Padahal, pengetahuan akan bermanfaat dalam “memilih” hanya ketika pengetahuan itu kita sadari. Mungkin saja dalam satu komunitas masyarakat tertentu, entah apa saja faktornya, kelalaian ini benar-benar meluas sehingga masalah tersebut benar-benar ditinggalkan dan mereka tidak menemukan satu jalanpun untuk keluar dari keadaan ini. Dalam keadaan seperti inilah para nabi diutus demi menyelamatkan mereka dari kelalaian. Imam Ali AS. pernah berkata:

Tuhan mengutus para nabi untuk menuntut janji fitrah mereka dan mengingatkan nikmat-nikmat yang telah mereka lupakan.[3]

Pengenalan dan Penyembahan Tuhan adalah perkara fitri, tapi manusia lalai akannya. Akal manusia dapat memahami banyak hal; namun akal ini juga seringkali terpendam dalam hawa nafsu dan syahwat. Tugas para nabi adalah menggali dan mengeluarkan akal dari kelalaian-kelalaian itu.[4]

Jadi, salah satu tugas para nabi adalah mengeluarkan manusia dari lingkaran kelalaian dan mengingatkan mereka kembali akan hal-hal yang secara fitri dan dengan akal mereka sendiri mereka telah mengenalnya. Hal terpenting dari hal-hal itu adalah Tauhid; yang mana Al-Quran selalu mengingatkan itu dan selalu mengajak manusia kepadanya. Oleh karenanya, dapat kita ambil kesimpulan juga bahwa para nabi bertujuan mengajak umat manusia kepada Tauhid pula.

Dalam Al-Quran disebutkan:

Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu” (QS. An-Nahl [16] : 36)

Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al-Anbiyaa’ [21] : 25)

Dari ayat di atas dapat kita pahami dengan jelas bahwa salah satu tugas penting para nabi adalah mengajak umat manusia untuk menyembah Allah SWT. Al-Qur’an sering menceritakan kisah para nabi dan menyebut Tauhid dalam ilahiyah dan ibadiyah sebagai tujuan utama dakwah mereka: “Dan tidak adal Tuhan selain Dia bagi kalian.”

Dengan demikian, meskipun Tauhid adalah perkara fitri dan difahami akal manusia, sering kali terlupakan dan terabaikan karena faktor-faktor lain; dan hikmah Ilahi menuntut diutusnya para nabi untuk mengingatkan umat manusia akan perkara itu.

7. Ancaman dan Kabar Gembira

Terkadang manusia mengetahui sesuatu dan bahkan sadar akan itu, namun ia tidak memiliki gairah untuk beramal sesuai pengetahuannya. Pada kondisi ini ia memerlukan motivasi yang dapat menggerakkannya. Para nabi adalah pemberi ancaman dan juga pembawa berita gembira; yang mana ancaman dan berita gembira itu akan menjadi motivasi alam perbuatan umatnya. Para nabi menciptakan motivasi dan membangunkan kembali kecenderungan-kecenderungan umatnya untuk beramal saleh; karena setiap manusia takut akan adzab dan siksaan, dan kemungkinan kecil adanya siksaan seharusnya memberikan dampak dalam jiwanya. Para nabi menggambarkan dengan jelas pedihnya adzab neraka dan menyebutkan satu per satu nikmat-nikmat surga; dengan ancaman dan kabar gembira tersebut mereka mendorong umatnya untuk beramal baik dan meninggalkan keburukan.

Banyak sekali ayat-ayat Qur’an yang menyebut para nabi sebagai nadzir (pemberi peringatan), misalnya:

Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS. Faathir [35] : 24)

8. Memerangi Kezaliman dan Kemunkaran

Sebagaimana yang telah dijelaskan, misi utama para nabi adalah Tauhid dan mengajak umat manusia untuk melakukan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Namun di sela-sela itu, para nabi selalu memerangi segala macam kemunkaran dan kezaliman yang marak dilakukan di zaman mereka. Misalnya, nabi Syu’aib AS. memerangi para penjual mahal:

Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. (QS. Asy-Syu’araa’ [26] : 181–182)

Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, (QS. Al-A’raaf [7] : 85)

Nabi Luth AS. juga memerangi kemunkaran (homoseksual) yang marak di zamannya:

Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Asy-Syu’araa’ [26] : 165–166)

Masih banyak juga ayat-ayat lainnya yang mencerminkan perjuangan para nabi dalam memerangi kezaliman dan kemunkaran.


[1] Yakni pengarahan manusia kepada jalan yang benar melalui diturunkannya syariat agama.

[2] Dalam Injil yang beredar saat ini, Tuhan digambarkan seperti seorang manusia yang tidak mengetahui banyak hal, terkadang menyesali perbuatannya sendiri, bergulat dengan hambanya sendiri dan terkalahkan, menuduh para nabi telah berzina dan bahkan berzina dengan muhrimnya. Di Injil-Injil inilah hal-hal yang tidak masuk akal dan tidak etis dapat kita baca.

[3] Ali ibn Abi Thalib: Nahjul Balaghah, khutbah pertama.

[4] Ibid.

 

Dari buku Jalan Kebenaran dan Penuntunnya

http://drxt.org/0b26968e
http://drxt.org/c2420fac

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *