Ngangkang Style & Ngopi Non Mahram
▪Dulu, waktu hebohnya himbaun “Ngangkang Style” di Lhokseumawe pada tahun 2013. Saya salah satu dari kalangan Dayah yang menolak kebijakan itu. Secara intern Aceh, saya menolak pola kebijakan dan penerapan hukum seperti itu dengan beberapa alasan, diantaranya fokus penerapan Syariat Islam yang hanya bicara “Ulée dan Lungkiëk Pha” kaum perempuan serta adanya Tazakumul Mafasid.
▪Mungkin, untuk soal itu pernyataan saya masih tersimpan rapi dalam jejak digital. Siapa tau bisa menjadi bahan Bully-an dalam tahun politik seperti ini. Dengan catatan, jangan Teumeunak dan mengeluarkan kata-kata kotor, harapan ini khusus untuk anda yang mengindap penyakit Internet Asperger Syndrome.
▪Nah, bagaimana soal Himbauan (Saya pikir itu masih sebatas himbauan, bukan Qanun atau Aturan mengikat) yang diberlakukan di Bireuen. Pada prinsipnya, saya sangat sepakat penerapan Syariat Islam di Aceh khususnya tidak hanya di Bireuen. Dalam amatan saya, yang menjadi masalah sebenarnya bukan soal substansi aturan seperti Ikhtilat (campur aduk laki-laki dan perempuan) yang secara Fiqh Syafi’i memiliki indikator, konsekwensi dan sanksi yang sudah dijabarkan dalam kitab-kitab masyhur.
▪Menjadi masalah ketika Penguasa membiarkan Kemaksiatan terjadi dalam lingkungan kekuasaannya yang seharusnya menjadi prioritas pertama sebelum diterapkan atau di sosialisasikan kepada Rakyat. Seperti di dalam lingkungan dinas, sudah menjadi rahasia umum jika dalam beberapa instansi pemerintah adanya praktek zina dengan alasan “Dinas Luar, Lembur, dan berbagai alasan lainnya”. Bahkan, beberapa diantaranya ada yang menikah sirri dengan asisten pribadinya atau menjalin hubungan yang tidak sah.
▪Dalam hal ini, Syariat Islam terkesan menjadi alat sensaional penguasa semata, menjadi alat politik yang justru merendahkan nilai Islam itu sendiri. Ada Mafsadah yang lebih besar yang harus diprioritaskan oleh penguasa, dan memerlukan landasan hukum Syariat untuk disegerakan seperti Praktek Korupsi yang merajalela, Pelayanan Publik yang amburadul serta beberapa hal lainnya yang berhubungan dengan kemashlahatan ummat.
▪Disini, saya melihat beberapa pihak yang “sedikit kacau” dalam menempatkan masalah. Terkesan, seseorang yang terkadang menolak pola kebijakan di Bireuen akan di anggap melawan Syariat Islam. Mindset ini tidak bisa dibiarkan. Aceh harus cerdas dalam melihat masalah, tidak sebatas sentimen Islam semata. Ber-Islam it harus secara Kaffah dengan prioritas-prioritas yang seharusnya.
▪Kekacauan berpikir kita terkadang begitu nyata di depan mata, satu sisi kita memaki siapa saja yang kontra dengan himbauan di Bireuen, tapi di sisi lain kita seperti apatis terhadap indikasi-indikasi koruptif misalnya dalam lingkungan Instansi Syariat Islam. Bukankah, korupsi dan nepotisme adalah bagian dari kemungkaran? Kita begitu gencar memaki orang lain, kita lupa kalau memaki dan menghina seseorang juga bentuk kemungkaran?
▪Intinya, menolak pola kebijakan bukan berarti menolak kebijakan itu sendiri. Karena kita sama-sama paham Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih!
Salam Jumat
Untuk Santri Milenial dan Post Islamisme
Ngangkang Style & Ngopi Non Mahram || ▪Dulu, waktu hebohnya himbaun "Ngangkang Style" di Lhokseumawe pada tahun 2013….
Posted by Haekal Afifa on Thursday, September 6, 2018
Leave a Reply