Penganut Buddhisme Tidak Menyembah Berhala
Berikut ini argumen2 untuk menjelaskan bahwa Buddhist tidak menyembah patung batu dan kayu.
Penyembah berhala, apakah tolak ukurnya?
Ketika saya bertemu dengan dokter pribadi saya, beliau bertanya tentang kegiatan religius saya. Dan ketika beliau telah mengetahui merek religius saya, ia menanggapi bahwa saya adalah pemuja batu dan saya disarankan untuk memiliki pegangan hidup agar di hari kiamat yang telah dekat, saya dapat tertolong sehingga dapat terlahir di surga abadi.
Lalu saya bertanya mengapa saya disebut pemuja batu? Jawabnya, saya menyembah patung, pemuja berhala. Ketika saya bertanya balik, apakah benar saya menyembah patung, beliau mengatakan ya, karena menurutnya, saya menghormat dan memohon-mohon rejeki, keselamatan, nama baik, keberhasilan dan sebagainya kepada patung yang terbuat dari batu dan tak ada bedanya dengan animisme, penyembah batu, religius berhala.
Kemudian saya berkata: “Pernyataan dokter seolah-olah menunjukkan bahwa perihal pikiran saya, sepertinya dokter lebih tahu dari pikiran saya sendiri, darimanakah dokter mengetahui bahwa saya menghormat dan memohon¬mohon kepada patung, apakah dokter dapat membaca pikiran saya, tolong dokter memberikan petunjuk bagi saya.”
Maka iapun menjawab bahwa kebanyakan, orang yang bertingkah laku di depan patung adalah demikian, sehingga diambil kesimpulan bahwa itu menyembah dan memohon kepada patung.
Kemudian saya mengutarakan kenyataan yang umum terjadi di masyarakat: “Ketika rakyat suatu negara mengangkat tangan di atas kening sambil menghadap tegap ke arah Bendera Nasional Negara itu pada kesempatan suatu upacara, apakah makna tingkah laku orang-orang itu, apakah mereka menyembah atau meminta-minta sesuatu kepada bendera itu?”
Dokter saya menjawab, bahwa menghadapi Bendera Nasional, mereka tidak menyembah atau meminta-minta sesuatu namun saat itu mereka mengenang perbuatan / kualitas jasa para pahlawan sehingga secara alamiah mereka
tergugah batinnya untuk mencontoh perbuatan patriot para pahlawannya.”
Kemudian saya lanjutkan: “Mungkinkah penganut religius yang dokter sebut sebagai penyembah patung/berhala ta di, ketika berlutut di bawah atau di hadapan patung itu, pikirannya diliputi oleh sifat-sifat baik yang mencontoh orang yang dilambangkan dengan patung tadi, atau mengenang kualitas-kualitas batin yang baik dari orang yang dilambangkan dalam bentuk patung tersebut, seperti halnya rakyat yang sedang mengenang jasa para pahlawannya?”
Beliau menjawab bahwa hal itu sangat mungkin. Lantas saya kembali bertanya:”Apabila sangat mungkin, maka orang-orang yang melakukan dengan pikiran baik tersebut apakah masih layak disebut sebagai penyembah patung/berhala, dan jika saya melakukan seperti itu, apakah tepat pernyataan dokter pertama tadi bahwa saya adalah penyembah berhala?”
Tentu saja tidak, jawab dokter itu. Saya melanjutkan: “Mengapa tidak?” Karena penyembah berhala artinya menyembah dan meminta-minta sesuatu (rejeki, keselamatan, dan sebagainya) kepada sesuatu yang tidak diketahuinya, demikian jawab dokter tersebut.
Mendapat jawaban seperti itu, saya berkata dan bertanya kepada beliau: “Maaf dokter, saya gembira sekali karena dokter berbicara sangat terbuka, oleh karena itu ijinkanlah saya bertanya secara terbuka dan jangan terlalu dipikirkan apabila pertanyaan saya ini tidak tepat; bagaimanakah dengan dokter, apakah dokter dalam mempraktikkan kepercayaan religius yang dokter anut, acap kali meminta atau memohon sesuatu (keselamatan, rejeki dsb) kepada sesuatu yang sesungguhnya dokter tidak/belum pahami/ketahui (tanpa atau dengan media tertentu seperti patung atau hal lainnya)?”
Beliau terdiam sejenak, kemudian menanggapi:”Selama ini saya telah salah pandangan tentang kepercayaan religius yang kamu pahami, maafkan saya! Sesungguhnya selama ini, saya lebih berhala dibandingkan kamu, karena saya sering kali meminta atau memohon sesuatu (rejeki, kesehatan, keselamatan dan sebagainya) kepada sesuatu yang memang saya belum/tidak pahami/ketahui. Maafkan saya, selama ini saya telah salah menilai kepercayaan religius yang kamu pahami hanya dari penampakan luar. Ternyata sisi batin si pelaku sangat menentukan kualitas perbuatannya. Terus terang, saya merasa syukur atas keteranganmu karena untuk selanjutnya saya tidak akan salah menilai seperti itu lagi.
Demikianlah dialog antara dokter pribadi saya dan saya, yang terjadi secara spontan dan terbuka. Memang, saya dan teman-teman memiliki ruang yang terdapat patung seorang guru besar yang bernama Gotama.
Memuja patung bukanlah ajaran religius kami, namun, memang kebanyakan para penganut religius kami, tidak mengerti dengan benar ajaran religiusnya (tidak mau tahu atau karena ajaran tersebut memerlukan kemampuan logika pada taraf tertentu), sehingga mereka terjebak ke dalam praktik keliru sebagai pemuja berhala.
Bagi kami, patung guru besar kami yang bernama Gotama hanya sebagai alat bantu bagi para pemula (bagi yang telah pandai sama sekali tidak memerlukan alat bantu seperti itu) untuk membangkitkan sikap batinnya seperti yang dimiliki oleh guru besar Gotama, yaitu:
- Murah-hati (dermawan)
- Bermoral (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berzinah, tidak berdusta, tidak memakan atau meminum makanan atau minuman yang melemahkan kewaspadaan)
- Tidak terikat/tidak melekat
- Bijaksana dalam bertindak, berbicara dan berpikir
- Bersemangat
- Sabar
- Selalu berpikir, berbicara dan bertindak jujur dan benar
- Memiliki tekad yang kuat
- Memiliki cinta kasih terhadap semua mahluk (tidak pandang bangsa, ras, agama, golongan, sekte, mahluk, dsb)
- Sikap seimbang menghadapi suka dan duka (tidak larut dalam suka maupun duka)
Patung bukanlah kriteria ajaran kami. Ada atau tidak ada patung tidak menjadi masalah. Guru besar kami sama sekali tidak mengajarkan pemujaan patung guna menuju kebahagiaan sejati.
Tindakan melalui pikiran, ucapan dan jasmani yang senantiasa terkendali serta jauh dari keserakahan, kebencian dan kebodohan batin merupakan syarat mutlak untuk merealisasi kebahagiaan sejati. Setiap mahluk mengharapkan kebahagiaan, namun kebahagiaan tidak dapat muncul karena berdoa, meminta-minta.
Kebahagiaan merupakan akibat, dan akibat akan muncul apabila ada sebab tepat yang mendahuluinya. Sebab yang baik pasti akan menimbulkan akibat yang baik; sebaliknya sebab yang buruk akan menimbulkan akibat yang buruk pula. Proses sebab akibat ini akan berlangsung selama kondisi-kondisi penunjangnya terpenuhi; mereka berproses secara alamiah.
Pengertian yang benar mengenai proses inilah yang menyebabkan saya secara sukarela berusaha melakukan kebaikan tanpa tergiur oleh janji/iming-iming surga dan secara sukarela pula berusaha tidak melakukan kejahatan, tanpa diliputi rasa takut akan ancaman neraka.
Semoga uraian kenyataan di atas dapat meredakan kesalahpahaman antar penganut religius.
oleh:Selamat Rodjali
Leave a Reply